CINTA TANPA DRAMA
CINTA TANPA DRAMA
Cinta adalah suatu emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Cinta juga dapat diartikan sebagai suatu perasaan dalam diri seseorang akibat faktor pembentuknya. Dalam konteks filosofi cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa pun yang diinginkan objek tersebut. (https://id.wikipedia.org/wiki/Cinta)
Dengan cinta, akan muncul pengorbanan-pengorbanan yang tak dirasa. Bukan hanya pengorbanan yang kecil, bahkan demi menyenangkan seseorang yang dicintai, kita akan melakukan pengorbanan yang besar sekalipun.
Sebagai seorang pendidik, cinta harus tertanam pada dirinya. Cinta terhadap sekolah tempatnya bekerja, cinta terhadap peserta didik yang diajarkannya, cinta terhadap segala hal yang berhubungan dengan profesinya sebagai pendidik.
Aku tak punya bunga
Aku tak punya harta
Yang kupunya hanyalah hati yang setia
Tulus padamu
Demikianlah penggalan lirik lagu Andmesh Kamaleng yang didendangkan dengan penuh cinta. Lagu tersebut tersirat menggambarkan bahwa seseorang yang telah mencintai memiliki hati yang setia dan tulus kepada orang yang dicintainya tanpa drama. Begitupun kita sebagai pendidik yang memiliki kewajiban melaporkan penilaian pada pembelajaran di masa pandemi Covid-19 menjadi salah satu dilematis tersendiri bagi para pendidik. Meskipun pembelajaran telah disesuaikan dengan Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 yang menegaskan tidak adanya tuntutan penuntasan kurikulum, tetapi pendidikan berkeadilan harus diterapkan dalam memperlakukan peserta didik. Bukan saja karena tajamnya kritikan diskriminasi di dunia pendidikan, namun juga demi meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri. Bahkan surat edaran itu pun menunjukkan cinta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada para peserta didik seluruh Indonesia tanpa drama.
Sejatinya penilaian holistik yang dituntut kurikulum 2013 terasa berat dipenuhi pendidik. Peserta didik sendiri yang menjalaninya pun seakan diwajibkan menjadi manusia sempurna yang hanya ada di negeri dongeng (pendapat sebagian pendidik tentang penilaian kurikulum 2013). Selain masih perlunya sosialisasi dan evaluasi terus menerus tentang penilaian menyeluruh yang diharapkan, ditambah pula banyaknya kendala dari latar belakang input peserta didik itu sendiri. Seperti faktor keluarga yang menganggap bahwa pendidikan itu tidak terlalu penting sebagai bekal masa depan anak. Bersekolah hanya menghabiskan waktu dan biaya yang ujung-ujungnya anak tetap hanya menjadi pekerja kasar. Di sisi lain karena adanya faktor yang memaksa anak bersekolah di samping bekerja membantu orangtua. Sehingga sang anak menjadikan sekolah sebagai tempatnya beristirahat dan belajar tanpa gairah. Atau justru anak yang mencari lengah pengawasan orangtua bermain gadget hingga larut malam.
Terlebih pembelajaran pada masa pandemi. Dunia maya tempat berlangsungnya pendidikan tersebut benar-benar bukan lahan efektif setingkat pembelajaran konvensional yang dapat mengukur kemampuan sebenarnya. Untuk ranah kognitif dan psikomotorik saja masih menemui banyak kendala baik dari sarana dan prasarana. Kegiatan pembelajaran daring itu sendiri, termasuk di dalamnya keterbatasan kemampuan peserta didik mengiringi pembelajaran yang berlangsung terus menerus dalam satu semester. Apatah lagi untuk ranah afektif.
Melalui video conference, seperti Zoom Meeting, Google Meet, Cisco Webex, Teams atau aplikasi lainnya bisa menghadirkan sentuhan penilaian sikap seperti di dalam kelas konvensional, tetapi hal ini tidak memungkinkan dilakukan setiap pertemuan. Oleh karena itu, aplikasi lain yang didominasi melalui obrolan (chat) dengan ketikan huruf demi huruf terasa sulit untuk mewakili sikap peserta didik sesungguhnya.
Sebenarnya dilema ini telah terjadi pada semester sebelumnya. Yakni tepat di bulan Maret 2020 pembelajaran konvensional harus dihentikan karena melandanya pandemi. Namun ketika itu, keadaan yang sertamerta menjadi faktor utama adanya pemakluman penilaian yang tidak seadanya. Dari beberapa grup Whatsapp penulis yang beranggotakan pendidik se-Indonesia, sebagian besar penilaian disalin dari nilai semester sebelumnya. Sebagian lagi dengan mengolah input nilai setengah semester yang telah berlangsung kemudian terhenti. Serta sebagian kecil lagi mengolah nilai sebelum pandemi dan beberapa pertemuan daring yang sempat terjadi. Alhasil, penilaian yang tidak menuntut penuntasan kurikulum memposisikan peserta didik tanpa melakukan pembelajaran pun dalam posisi aman. Nah, cermin ini yang kemudian menjadi penyumbang kendala dilematisnya penilaian semester selanjutnya.
Mustahil peserta didik yang disiplin dalam pembelajaran daring dapat disamakan dengan peserta didik yang untuk kehadirannya saja tidak terpenuhi. Meski telah mengombinasi daring dan luring, tetapi kendala ini terjadi di banyak wilayah. Apalagi hanya dengan pembelajaran daring. Yang terkendala dengan pembelajaran daring mengejarnya dengan luring. Datang ke sekolah mengantar pekerjaannya yang diterima dari daring. Atau menjemput dan mengantar beberapa tugas sekaligus yang telah dijalani teman sekelas lainnya yang lancar dalam pembelajaran daring.
Sebenarnya bila dijalani dengan baik, tentu tidak akan memunculkan dilematis ini. Sayangnya, masih banyak orang tua peserta didik yang memang tidak peduli adanya pembelajaran daring maupun luring dengan berbagai alasan dan berharap penilaian menyerupai semester sebelumnya ini yang sangat membuat pendidik serba salah. Walaupun telah melalui prosedur pemprosesan peserta didik bermasalah sebagai mana regulasinya.
Masih melalui perbincangan di beberapa grup Whatsapp yang sama, penulis menyimpulkan sebagian besar pendidik melakukan penilaian sebagaimana ada dan seharusnya. Oleh karena itu banyak peserta didik yang berpredikat tidak tuntas. Tetapi semua sekolah telah memiliki kebijakan tersendiri mengatasi fenomena ini. Yaitu masih memberi ruang perbaikan nilai kepada peserta didik di awal semester genap. Hal ini didukung dengan belum jatuhnya tempo input erapor secara online. Di samping itu pula, telah adanya rancangan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas yang disusun sebagai Penyesuaian Keputusan Bersama Empat Menteri tentang Panduan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 pada Agustus tahun lalu.
Semua ini tentunya mengandung nilai pendidikan yang besar bagi peserta didik bersangkutan. Meski masih kejar-kejaran harus menyelesaikan pembelajaran semester ganjilnya di masa libur semester genap. Selain tidak meremehkan segala informasi yang berkenaan pembelajarannya, tentunya dapat memaknai keharusan menyelesaikan tanggung jawab pendidikannya terhadap dirinya sendiri dan orangtua. Membentuknya menjadi pribadi yang gigih dan pantang menyerah. Tentunya pula, kita sama-sama berdoa agar pandemi ini segera berakhir. Sehingga pembelajaran konvensional yang menghadirkan penilaian holistik yang dituntut kurikulum dapat terealisasi dengan baik.
Nah, disinilah seorang pendidik mulai menanamkan cintanya kepada peserta didik lebih dalam lagi bahkan tanpa drama, memberika nilai yang tulus dari hati agar mereka tetap bisa menatap masa depan cerah tanpa dihantui nilai buruk yang diberikan oleh para pendidiknya.
Sekali lagi, bagaimana pun kita sebagai pendidik, harus mencintai apa adanya peserta didik yang kita ajarkan. Dampaknya bagi pendidik pasca pandemi saat pembelajaran konvensional diadakan kembali akan membuat kita memiliki cinta yang lebih dari sebelumnya. Ketulusan hati dan kesetiaan pada pendidikan yang ditujukan oleh para pendidik akan menghasilkan peserta didik yang memiliki hati yang tulus dan setia di kemudian hari. Bukankah itu tujuan dari pendidikan sebenarnya?
Komentar
Posting Komentar