CINTA QIRDUN
“Nin, tolong jahitin celanaku y?” pinta Dika kepada Nindi, Dika santri asal Jakarta Timur sedangkan Nindi santriwati asal Jakarta Pusat. Mereka sangat dekat karena memiliki persamaan nasib. Sama-sama ditinggallkan orangtua dan disekolahkan di pesantren yang sebenarnya mereka tak mau. Dika sangat menyayangi Nindi seperti adiknya sendiri. Nindi hanya hidup bersama ibunya karena sang ayah telah tiada dilalap si jago merah. Begitu pula Nindi, dia tak pernah menolak permintaan Dika karena Nindi tau Dika terpaksa tinggal di pesantren ini, beda tujuan dengan Nindi, dia punya masa lalu kelam saat tinggal bersama saudaranya di kampung, jadi dia mengiyakan permintaan sang ibu yang terpaksa menyekolahkannya di pesantren.
“Iya sini, sebelum ngaji ambil ya!”
“Siap bos.”
Sebelum asar, Irul mendatangi asrama Nindi.
“Nin, mana celanaku yang sudah kau jahit?” Tanya Irul.
“Aku g jahit celanamu Rul, aku jahit celana Dika, “ Ujar Nindi.
“Ya, tadi aku yang minta Dika agar kau jahit celanaku yang bolong, aku malu memintanya padamu walau aku tau kau pasti tak akan menolak, tapi……”
Irul tak melanjutkan ucapannya. Dia langsung mengambil celana itu dari tangan Nindi dan berlari sambil berteriak mengucapkan terima kasih. Irul sangat menyukai Nindi, tapi dia tak bisa mengungkapkannya karena tau Nindi sangat dekat dengan Alam. Yang Irul tau Nindi mungkin menyukai Alam karena sering memperhatikannya.
“Aneh manusia itu,” ujar Nindi.
Sore tiba waktunya mengaji Jurumiyah. Nindi dan santriwati lainnya bergegas menuju kelas yang tak jauh dari asramanya. Begitu pun dengan Dika, Alam, dan santri lainnya. Ustadz Santoso segera mengabsen santri setelah berdoa. “Irul… Irul….Irul…kemana Irul?” Tanya Ustadz Santoso.
“Tadi bundanya datang tadz, tapi ga tau sekarang kemana,” jawab Marhi teman sekobongnya.
“Celananya bolong lagi kali,” ujar Dika.
“Nindi kalo jahit celana untuk pangeran yang bener donk,” ledek Dika.
“A apa Dika, ih nyebelin kamu,” jawab Nindi
“Sudah sudah apa itu…. celana bolong???, kita mulai saja sambil menunggu keterangan tentang ketiadaan Irul, “ ujar Ustadz Santoso menenangkan kelas yang ramai.
Selang beberapa waktu saat Ustadz menerangkan tentang bab awal, Bunda Irul datang ke kelas.
“Assalamualaikum, maaf mengganggu tadz”.
“Waalaikum salam, iya maaf ini siapa?” Jawab Ustadz Santoso.
“Saya Bunda Irul, mau memberikan makanan kecil ini untuk Nindi sebagai rasa terimakasih saya karena telah menjahitkan celana Irul. Maklum laki-laki belum bisa jahit sendiri.”
“Cie cie Nindi”, semua teman meledeknya. Muka nindi memerah karena malu, Nindi segera menerima makanan kecil yang banyak itu. “Terimakasih bunda,” ujarnya.
“Wah, Nindi sangat cantik dan baik, pantas Irul menyukaimu,” puji Bunda Irul
“Cie cie,” lagi lagi teman sekelas meledek Nindi.
“Oia pak ustadz, Irul izin telat ya, dia sedang mandi, tadi di pasar macet sekali jadi kami terlambat kembali,” lanjut Bunda Irul meminta izin telat datang untuk Irul.
“Iya Bunda, masih ada waktu kok, untuk materi yang tertinggal bisa tanyakan ke santri lain.”
“Assalamualikum.”
“Waaalaikum salam.”
Bunda irul sudah berlalu, namun kelas masih ricuh dengan suara santri yang meledek Nindi.
“Ih, diem donk semuanya, aku kan ga tau kalo itu celana Irul. Orang Dika yang ngasih,” pinta Nindi kepada teman-temannya agar tak ricuh dan meledeknya.
“Tenang tenang, lain kali kamu tak boleh biarkan santri memintamu jahit celana atau pakaian lainnya. Biarkan mereka belajar menjahit.” Ujar Ustadz Santoso.
“Ya tadz maaf, aku kerjakan itu hanya untuk Dika, dia kan kakak angkatku,” Nindi berusaha menjelaskan asal mula kejadiannya.
“Dika jahat”
Malam tiba, Dika memberikan secarik kertas berwarna pink kepada Nindi.
Jam sebelas malam ini aku tunggu depan hamam, begitu isi surat tersebut.
“Dari siapa Dik?”
“Irul”
“Ngapain nunggu aku?”
“Mau nembak”
“Ga ah, aku takut. Ini pesantren mana boleh berpacaran.”
“Terserah, tapi kasihan kalo g datang, dia pasti nunggu.”
Tepat jam 23.00, Nindi berusaha melupakan surat pink itu, tapi ia memikirkan ucapan Dika.
“Kasihan juga kalo dia nungguin, ya udah aku temui sebentar saja, setelah itu aku kembali ke asrama.” Nindi berusaha ambil keputusan yang tidak merugikan.
Di hamam, Nindi melihat Irul yang memegang sebuah gelang dolphin.
“Hai Irul, ada apa ngajak aku ketemu di sini?”
“Ni buat kamu…”.Irul memberikan gelang dolphin itu. “Pakai ya,” pintanya
“Untuk apa?”
“Aku suka kamu. Ga usah jawab sekarang. Besok aja aku tunggu disini.”
“Oh itu….aku…,” Nindi berkata dengan terbata bata.
“Kembalilah ke kamar dan tidur.” Sela Irul.
“Oh iya, terima kasih.” Nindi berbalik badan kembali ke asramanya.
Sambil berjalan ke asrama, Nindi berujar sendiri “bagus gelangnya, tapi aku tak suka Irul, aku masih kecil untuk mengenal cinta. Atau inikah yang disebut cinta monyet??? Ah aku tak mau memikirkannya. Lebih baik focus belajar.”
Malam yang ditunggu Irul tiba, dia menanti Nindi di tempat yang sama. Nindi bingung harus jawab apa, karena dia tak punya perasaan lain selain suka sebagai teman. Tapi Irul seakan memaksanya menerima cintanya. Walau malam itu gagal, Irul tetap menunggu setiap malam untuk kehadiran Nindi. Hingga suatu malam…….
“Nindi, bisa kemari!” Ustadzah Mulfihah memanggil. “Ya kenapa ustadzah?”
“Tolong belikan obat demam untuk Irul. Semalaman dia sakit.”
“Iya Ustadzah.”
“Kenapa Irul sakit ya?”gumam Nindi.
Nindi segera beli obat yang diminta dan memberikannya ke ustadzah Muflihah.
“Dia ini lemah banget, aku harus telepon bundanya. “ Ujar ustadzah yang sangat khawatir karena demamnya sangat tinggi.
Setelah menelepon Bunda Irul, Ustadzah langsung memanggilku dan menanyakan apa yang dia lakukan beberapa malam ini.
“Aku kurang tau Ustadzah. Mungkin santri lain tau.”
Lagi lagi dika yang maju untuk menjawab pertanyaan tentang Irul, “dia nunggu jawaban Nindi ustadzah…”
Sambil tersenyum ustadzah berkata oh Irul sakit karena cinta qirdun…..
Semua yang ada di asrama Irul tertawa.
Komentar
Posting Komentar