Hari Pertama
"Ayo Din, kita turun!", Mamah mengajakku berdiri dan turun dari bis 'doa ibu'. Kami turun tepat di depan sebuah warung di pinggir jalan.
Mamah selalu menggenggam tanganku kemana pun beliau pergi bersamaku. Itu mungkin hari terakhir aku bersamanya karena setelah ini, beliau akan menitipkanku ke sebuah pondok pesantren untuk melanjutkan sekolah menengah pertama hingga enam tahun.
Mungkin aku akan merindukan genggaman itu. Mungkin aku akan sering menangis merindukannya.
"Din....ayo masuk," bayanganku ke depan buyar seketika Mamah mengajakku masuk ke rumah sederhana milik Pengasuh pondok itu.
Aku diperkenalkan Mamah kepada pengasuh pondok dan istrinya. Itu salah satu adab para orangtua yang akan menitipkan anaknya di pondok.
Aku pernah mengenal mereka, mereka pernah mengajariku di sebuah pesantren kilat yang mereka dirikan di Jakarta beberapa tahun lalu.
"Tenanglah bu, Dini pasti betah di sini karena kami pernah mengajarnya sebelumnya. Dia pasti kerasan, " ujar Pengasuh pondok menenangkan mamah.
Aku diajak berkeliling pondok oleh istri kiai dan diperkenalkan dengan beberapa santri yang sudah menetap setahun di sana. Mereka sangat ramah. "Siapa namamu?", tanya Uus, salah satu santri. "Dini kak," jawabku malu-malu. "Ayo ngerujak...kebetulan pak Kiai memberi kita mangga dan pepaya muda," Sri, santri pertama yang juga sebagai ketua putri di pondok itu mengajakku ngerujak.
Malu-malu aku ikut nimrung dengan mereka menikmati rujak yang mereka buat. Ternyata begitu nikmat makan bersama para santri.
Aku diberikan tempat tidur dan lemari untuk menaruh perlengkapanku di sana. Mamah pun membantu merapihkan perlengkapan itu.
"Din, mamah urus administrasi dulu ya. Kamu di sini saja bersama teman-teman barumu. "
"Ya mah."
Aku berkenalan dengan beberapa santri di sana. Satu kamar ada 20 orang. Umumnya berasal dari Jabodetabek.
Mamah dan istri kiai melihatku dari kejauhan.
"Dini terlihat sudah mau berinteraksi," ujar istri Kiai.
"Ya, baiklah saya pamit pulang, nitip Dini ya bu. Anggap ia sebagai anak ibu. Saya terpaksa menitipkannya di sini agar dia menjadi mandiri." Mamah menimpali.
Beberapa jam kemudian....
"Din, mamah pulang dulu ya ke Jakarta. Kamu harus kuat di sini, mamah yakin kamu akan betah. Patuhi semua perintaj kiai dan para ustadz ya."Mamah izin pamit sambil menasehatiku.
Air mata mamah berderai saat meninggalkanku. Akupun begitu. Tetapi Sri memelukku erat dan berbisik,"kami bersamamu."
Komentar
Posting Komentar